Sahabat Atau Sampah?
Ilustrasi sahabat tiga serangkai |
Karya:
Salsabilah Ilmar Fandini
Siswi SMK PUI Haurgeulis
Siswi SMK PUI Haurgeulis
Cahaya
mentari yang mulai menebarkan pesonanya dilengkapi dengan embun yang meneteskan
airnya. Suara burung yang saling besahutan dengan merdunya. Tak lupa pula pagi
yang cerah untuk Andin meperbesarkan bencinya terhadap dia, sangat jelas di
matanya terbaca membencinya. Rasa yang amat berat untuk miliki kekuatan untuk
menghapus namanya di muka bumi ini yaitu sampah. “Oh tidak......ini bukan noda
lagi, melainkan sampah”. Celetuknya
Andin
melanjutkan mengayuh sepedanya yang sederhana sembari menikmati indahnya
pemandangan pegunungan. Tak begitu lama ia tiba di depan sekolah “Bau sampah”.
Langkah kakinya melanjutkan melewati lorong yang di penuhi dengan tong sampah
sampai di ruang kelasnya yang ramai dengan kebisingan teman sekelasnya. Lima
detik berlalu Via muncul dengan raut penuh kegelisahan masuk ke kelas,
begitupun dengan Andin dan Yana yang keheranan “Assalamualaikum” Salam Via.
“Waallaikumsalam” Sahut teman-temannya.
Sangat
pas munculnya Via, lonceng sekolah berbunyi sangat keras “Teng....teng....teng”.
Seluruh siswa sangat khusyuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Sungguh
waktu berjalan begitu cepat, saat yang dinanti-nanti tiba di depan waktu
“Teng....teng...teng”. Suara lonceng istirahat terdengar. Tanpa rasa bersalah
Yana memulai pembicaraan dengan nyinyir “Eh Via, tumben berangkat pagi?
Biasanya bunyi lonceng pertama kamu masih nyengir di depan gerbang”. “Lucu
banget sumpah!”. Jawab Via dengan nada ketus. “Temannya tobat itu di
Alhamdlillahin, bukannya dibulii”. Sambung Andin.
Ada
sedikit penyesalan yang dirasakan Via, dengan alasan yang sangat berbeda jauh
dari orang yang upnormal “Di pikir-pikir ngapain sih ku berangkat pagi, coba
saja telat pasti gak dibuli gini” sindir Via. “ehhh laper gak sih? Ke kantin
yuk! Ajak Andin untuk mengalihkan perhatian kawannya. “Cus”. Sangat asyik
mereka bercuap-cuap melangkahkan kaki ke kantin dengan raut wajah kelaparan
yang merajalela. Seperti biasanya mereka memesan makanan yang jadi menu
handalannya. “Mbak menu biasa!”. Yana memesan “Teh menu biasa!”. Dilanjut Via
“Siap Komandan”. Jawab Bu Kantin
Wusshhhhh
dengan sigap Bu Kantin mengantar pesanannya. Dengan lahap mereka menghabiskan
makanannya, namun di sela-sela mau habis, Via memulai kebiasaannya. “Eh Via lu
tau nggak itu apa?”. Tegur Andin dengan ketus. “Sampah”. Saut Via dengan polos.
“Sudah tau sampah, buangnya yang bener dong!”. Andin semakin emosi melihat tingkah
Via yang sangat ceroboh. Secepat kilat Via membuang sampahnya ke tong sampah
terdekat. Suasana panas cair sangat cepat saat mendengar lonceng masuk
berbunyi.
Kebetulan
masih ada sisa waktu satu jam pelajaran Bahasa Indonesia yang terjeda karena
istirahat. Seperti biasanya saat belum ada Guru siswa berhamburan seperti kapas
yang terbang mengikuti arah angin tak tentu. “Nih, Yan buku Bahasa Indonesianya” beritahunya ke Yana
sambil mengambil buku yang di laci meja, tak sengaja kumpulan sampah yang dilacinya
tersangkut di buku hingga tergeletak tak berdaya. “Masyaallah Via”. Sindiran
halus Yana. Cuma bisa nyegir kambing Via, melihat sampah yang ada di lacinya
terjatuh. “Gue gak habis pikir, nggak di jalan, di sekolahan, di selokan,
dimana-mana ada sampah!”. Tegas Andin. “Sudahlah, sampah macam apapun pasti
ada, hari gini manusia peduli sama lingkungan, sudah gak zaman! Bukalah matamu
selebar dunia, dan terima kenyataannya, sebelum penciptanya meluluh lantakan
Bumi ini, manusia gak bakal sadar arti pentingnya menjaga lingkungan”. Sahut
Via. “Bener juga kamu, apalagi yang namanya sampah masyarakat uhuhuhuuh udah
kayak lu gue and!”.
Munculah
Pak Guru yang mempunyai aura damai, nyaman sehingga mereka terdiam seketika.
Entah jimat apa yang digunakan Pak Guru, semua siswa terpukau melihat sesuatu
yang spesial di seluruh bagiannya dari ujung rambut sampai kaki. Mereka paling
bersemangat untuk belajar, sampai menatap Pak Guru dengan tatapan setajam silet
heuurrr. “Pak, Apa kabar?”. Tanya Via “Alhamdulillah luar biasa”. Mendengar
suaranya yang serak semua cewek sudah bahagia. Panjang lebar kali tinggi semua
materi dibahas olehnya dengan sangat matang, hingga tak kuat mereka terpisahkan
oleh waktu saat belajar bersamanya. “Teng...teng...teng”.
Mereka
pulang berjalan kaki dengan sangat santai, sedangkan Andin menuntun sepedanya
karena kempes. Sepanjang jalan mereka bercerita mengenai kejadian sekolah,
namun Via melakukan kesalahan yang sama “ Woy Via nggak punya dosa banget,
nendang-nendang sampah seenaknya!”. Tegur Andin dengan sangat keras. “Biasa aja
kali, gak usah pake otot!”. Via merasa dirinya terpojok sepanjang waktu, hanya
karena sampah. “Terus saja ku yang disalahin”. Sedikit kesal, mulai
berkaca-kaca airnya mulai terjatuh. Yana mencoba untuk melerainya “Begini Vi
maksudnya, jangan marah dulu”. Tak terima Ia berfikir Yana membela Andin “Apa!
kamu mau nyalahin ku juga?”.
Ujung-ujungnya
Via terlanjur terluka, padahal Andin ingin menjelaskan maksud baiknya. Dia
meninggalkan mereka, rasa kesal terus menyelimuti otaknya yang sedang kacau.
Sudah gelap jalannya, entah rayuan apa yang merasuk dibenaknya. Kini tiga
serangkai pun menjadi dua serangkai.