Novel Origami Love Episode 3 (Kompetisi Labil)
Karya: Dewi Fatimah
Aku terkejut dengan kondisi apartemen yang seharian ini belum dibereskan, sampah makanan ada dimana-mana serta cucian piring yang menumpuk. Paling tak suka untuk membereskan semua itu, so aku capek banget. Aku memutuskan untuk merebahkan sejenak menenangkan pikiran supaya lebih fokus untuk mengerjakan sesuatu. Belum lama memejamkan mata, ku mendengar suara pintu yang terbuka. Seketika terbangun, bergegas melirik ke arah pintunya. "Hadeuh mampus nih, itu pasti Iki". Panik sekali melihatnya datang dengan mimik wajah yang kesal.
"Dewi!!" Teriaknya sangat kencang. Saat itu juga aku pura-pura tertidur agar tak kena omel. Tapi, tak bisa di pungkiri Iki yang tak mampu menahan emosi langsung menarik kakiku. "Bangun.....cepat! Udah gak usah pura-pura tidur". Bagaimana mungkin iki tau kalau ku sedang akting. "Iya....iya...ku minta maaf, tadi sebenernya mau ku beresin cuma apa daya lelah sekali seharian jalan". Ngelesku padanya, alasan klasik ini tak mempan untuknya "pokoknya cepat beresin! Ku gak mau ada sampah atau barang yang lainnya berantakan seperti tong sampah". Begitulah, jika orang yang terlalu cinta dengan kebersihan.
Aku bingung mau memulai darimana untuk membereskan semuanya. "Aku harus beresin yang mana dulu Ki? So di setiap sudut berantakan sekali" meminta pendapatnya "kamu bereskan yang paling berantakan dulu!" Solusinya. Aku mengikuti saran darinya, perlahan merapihkan ruang tamu memilah antara sampah dengan barang yang bisa digunakan lagi. Baru ronde pertama Aku sudah mulai lelah, sementara Iki cuma melihat ku saja sambil memainkan biolanya "Ki, ku capek boleh istirahat gak?" Pintaku "Gak boleh, pokoknya bereskan dulu semuanya kamu boleh istirahat atau pilih keluar dari apartemen ini". Sebenarnya sedikit kecewa dengan ucapannya, tapi ini salahku yang tak bisa menjaga kebersihan.
Aku langsung membereskan semua dari sudut ke sudut. Hampir selesai, tenaga habis terkuras sehingga memanggil rasa lapar dan kantuk. Rasanya ku mulai terkapar lunglai, semua kelar dirapihkan. "Dewi...!" Teriaknya lagi. Perasaan udah gak enak lagi, mungkin belum bersih sampai Iki memanggil lagi. Ku berjalan seperti zombie yang lemas sekali, rambut berantakan, pakaian yang kotor dan bau keringat yang menyengat. Aku saja mau muntah mencium baunya. "Kenapa lagi Ki" mendekatinya. Terlihat Iki menahan bau keringat yang terus memutari di tubuhku. "Kamu mandi dulu sana, bau gitu". Sudah ku duga sebelumnya, sedikit kesal aku melemparkan celemek yang di bawa kemukanya. Sambil meledek ku berlari ke kamar.
Pantas saja Iki berkata seperti itu, emang kenyataannya ku bau asem dan yang lainnya. Kurang lebih tiga puluh menit ku mandi. Sudah harum rupanya tak seperti tadi. "Dewi buruan sini!" Teriak lagi "nih, orang Napa ya? Kerjaannya udah kayak toa saja" gumamku. Berjalan turun dari tangga, Iki terus melihat ku tanpa hentinya. "Aku memang cantik, dia pasti terpesona" batinku. Kok aneh banget, malah melihat ke bawah bagian kaki, pantesan ku masih memakai handuk. Aku perhatikan Iki menahan ketawa. Aku pikir terpesona dengan kecantikan, tapi malah hal ini yang membuatnya menatapku. Balik lagi ke kamar untuk menggantinya. "Kenapa? Mau ngetawain lagi" sindirku "GR, banget sih". Balasnya.
Rupanya Iki memberikan informasi yang penting semacam kompetisi untuk mendapatkan beasiswa sekolah. "Ah...gak..gak ku gak mau ikutan yang kayak ginian". Tolak ku "Ya elah coba dulu, daripada kamu gak lanjutin sekolah". Rayunya "pokoknya gak mau, ku udah males belajar lagian sekolah ini kan sekolah favorit pasti persaingannya ketat banget." Keluhku "Jangan nyerah gitu dulu dong, ini kesempatan emas buat kamu, pertama kamu bisa buktiin ke mama kamu, kedua biar reputasi kamu balik lagi dan ketiga bisa bareng sama ku sepanjang waktu". Benar juga ucapannya cuma ku tak mau ikut kompetisi merebutkan beasiswa sekolah. "Ku males Ki, pokoknya gak mau". "Pokoknya kamu harus ikut titik! Please kali ini harus ikut. Besok ku balik lagi dan membawa semua buku yang ada di rumah untuk kamu belajar ok!". Iki langsung pergi setelah memastikan semua ruangan bersih.
Sungguh terlalu, sudah berapa lama ku berhenti sekolah. Membuat ku malas untuk belajar lagi, tapi pendidikan itu sangat penting bagiku. Tidak salahnya untuk mencoba hal yang baru. Malam yang lelah aku terkapar tidur. Waktu berputar begitu cepat, jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Bunyi alarm di ponsel ku tak pernah berhenti, karena iki mau kesini aku langsung mandi. Kemudian, memilih baju yang paling cocok biar terlihat nampak cantik, elok untuk di pandang. Semalam ku menahan rasa lapar, sehingga pagi buta gini perut sudah menggoncang. "Masak apa ya? Stock makanan habis sisa hanya mie instan". Sudah tak tahan dengan kondisi perut yang bergejolak, aku pergi ke dapur untuk membuat mie instan.
Harumnya bumbu mie instan sudah menggugah selera di semangat pagi. Suara pintu terbuka terdengar "Pasti Iki nih". Mungkin iki mencium aroma wangi mie instan membuatnya tahu jika aku sedang di dapur. Kali ini pasti dapat pujian darinya, ku kan jarang banget ada di dapur. " Kamu masak mie pagi buta gini?". Tanyanya " ya dong, udah rajin kan sekarang mah" sombongku " Buang!" Perintahnya "Lha kok di buang sih, ini makanan lho Ki". Sahutku. "ok, ini memang makanan. Tapi ini gak baik buat kesehatan kamu, coba ku tanya sudah berapa banyak mie instan yang udah kamu konsumsi?". Tegasnya. Serba salah, kena skakmat lagi. Belakangan ini ku sering kali mengonsumsi mie instan, karena menurut ku masak inilah yang paling mudah dan cepat matang daripada yang lainnya.
Ku membuang mienya ke tong sampah, sebenernya gak rela makanan favorit yang sudah menemani selama ini saat keadaan terpuruk. Aku duduk menunggu Rizki membawakan teh hangat. Sambil menunggu aku sedikit membaca buku yang dibawakannya. Pusing sekali rasanya melihat bilangan-bilangan yang ada dibuku. "Sudah kamu pelajari?" Tanyanya sambil memberikan ku teh hangat "sudah, cuma pusing". "Dicoba dulu, diminum dulu tehnya". Perintahnya. Tak terlalu asing dengan buku yang dia bawa. "Nyerah deh aku Ki, ku pusing". "Kamu mah ngeles Mulu, coba dulu" paksanya. "Iya..iya aku coba, tapi ku laper Ki gak bakal konsen juga kalau mau belajar". Terangku "jujur banget sih jadi anak, ya udah kita beli sarapan dulu".
Matahari rupanya sedang bersahaja, tak terlalu panas membuat bersemangat untuk mencari tempat makan di pinggiran kota. Udara yang sejuk membuat ku kembali segar. Terlihat ada gerobak yang berjualan tak jauh dari apartemen. Ternyata jualan lontong sayur, wangi rempah-rempahnya sudah tercium dari kejauhan. Pastinya enak sekali lontong sayurnya" ki, makan di situ yuk" ajakku menunjukkan ke arah gerobak . "Yakin nih, cuma makan lontong saja?". "Ya gak papa kan cuma buat sarapan, nanti sidangkan makan lagi hehehe" gurau ku padanya. ,"Ok lah". Ku sudah seperti kesetanan, makan lontong sayur sampe nambah dua kali. Entah itu ku yang lapar atau makanannya yang enak. Rizki dan Abangnya melongo melihat atraksi makan besar ku.
Suara sendawa mengakhiri sarapan lontong sayur. Mungkin iki sedikit ilfil melihat tingkah laku ku yang seperti ini. "Sorry, ku bikin malu kamu ya ?". Tanyaku "gak kok, heran aja, pertama kali ku melihat cewek makan banyak". Aku pikir ini hal yang wajar saja, soalnya porsi lontong sayurnya sedang. Menahan lapar dari semalam efeknya gini. Sedikit membicarakan mengenai kompetisi untuk memperoleh beasiswa yang akan di adakan dalam waktu dekat ini. "Nih ya, kamu hanya punya waktu dua Minggu untuk belajar dan siswa yang akan mendapatkan beasiswa hanya 10 orang, kemungkinan besar peluang untuk masuk ke 10 besar ini hanya sedikit. Ku harap kamu belajar dengan sungguh-sungguh supaya masuk dalam daftarnya" penjelasan Iki mengenai kompetisi. " Siap ka Iki". Ledekku mengingat kejadian tempo hari. "Apaan sih". Balasnya
Satu jam kemudian kami kembali ke apartemen untuk belajar. Layaknya guru tutor Iki terus mamanduku dalam belajar. Kebetulan saat itu malas sekali untuk belajar. "Ki pusing deh, besok lagi aja deh belajarnya". Saranku "Gak bisa gitu,, waktu dua Minggu itu gak lama lho. Kamu harus belajar yang serius biar bisa masuk ke sekolah ini". Padahal ku sudah tak mau belajar lagi, rumus matematika yang ku pelajari sewaktu sekolah sudah lupa. Jangankan itu, pengetahuan ku hanya sedikit yang tersisa di memori. Berawal dari keterpaksaan untuk belajar kini sudah mulai menjadi kebiasaan. Hampir setiap waktu ku habiskan untuk membaca bahkan berlatih mengerjakan soal. Mata pelajaran yang akan di ujikan dalam kompetisi matematika, IPA, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tak hanya itu saja ada tes psikotes selanjutnya ke tahap Wawancara dengan kepala sekolah.
Tak terasa seminggu ku lewati menjadi seorang yang kutu buku. Materi hampir di kuasai semua, kelemahan ku di mata pelajaran bahasa Inggris dari dulu tak suka. Pada tanggal 5 Maret 2019 pendaftaran untuk kompetisi mendapatkan beasiswa telah dibuka secara online maupun offline. Berhubung teknologi semakin canggih aku memutuskan untuk mendaftar lewat online. Terlalu banyak orang yang sedang mengaksesnya benar-benar lemot sekali. "Arghhhh....gak bisa masuk juga". Di meja belajar ku menangis karena kesal yang tak kunjung bisa masuk ke situsnya. Tisu yang ada di meja habis ku pakai menghilangkan air mata dan ingus. Entah ada angin apa? Aku teringat dengan Iki. Langsung aku embat handphone yang di meja untuk menghubungi Iki. Suasana semakin jengkel telfonku tak di angkat sama sekali. "Ok aku coba kirim pesan singkat".
Kurang lebih dua jam pesan yang ku kirim di balas olehnya. "Besok kita datang langsung saja ke sekolah, gak usah secara online" pesan singkatnya. Aku yang sudah tak berdaya menurut saran darinya. Tetep saja hal ini membuat tak tenang, kemudian ku mengirimkan pesan lagi "Ki, ku nyerah deh gak mau ikut kompetisi beasiswa di sekolahmu, sepertinya banyak sekali orang yang mau mengikuti". Pesan terakhir ini mengakhiri percakapan malam ini.
Gelisah sekali, ku tak bisa tertidur nyenyak seperti biasanya. Mataku tak dapat ku pejamkan dengan rapat. Tak hentinya aku mencari cara agar bisa tertidur, mulai menghitung jumlah kambing yang ada di pikiran, di lanjut membaca Webtoon di line. Akhirnya mata ini mulai lelah langsung memejamkan mata.
Harumnya bumbu mie instan sudah menggugah selera di semangat pagi. Suara pintu terbuka terdengar "Pasti Iki nih". Mungkin iki mencium aroma wangi mie instan membuatnya tahu jika aku sedang di dapur. Kali ini pasti dapat pujian darinya, ku kan jarang banget ada di dapur. " Kamu masak mie pagi buta gini?". Tanyanya " ya dong, udah rajin kan sekarang mah" sombongku " Buang!" Perintahnya "Lha kok di buang sih, ini makanan lho Ki". Sahutku. "ok, ini memang makanan. Tapi ini gak baik buat kesehatan kamu, coba ku tanya sudah berapa banyak mie instan yang udah kamu konsumsi?". Tegasnya. Serba salah, kena skakmat lagi. Belakangan ini ku sering kali mengonsumsi mie instan, karena menurut ku masak inilah yang paling mudah dan cepat matang daripada yang lainnya.
Ku membuang mienya ke tong sampah, sebenernya gak rela makanan favorit yang sudah menemani selama ini saat keadaan terpuruk. Aku duduk menunggu Rizki membawakan teh hangat. Sambil menunggu aku sedikit membaca buku yang dibawakannya. Pusing sekali rasanya melihat bilangan-bilangan yang ada dibuku. "Sudah kamu pelajari?" Tanyanya sambil memberikan ku teh hangat "sudah, cuma pusing". "Dicoba dulu, diminum dulu tehnya". Perintahnya. Tak terlalu asing dengan buku yang dia bawa. "Nyerah deh aku Ki, ku pusing". "Kamu mah ngeles Mulu, coba dulu" paksanya. "Iya..iya aku coba, tapi ku laper Ki gak bakal konsen juga kalau mau belajar". Terangku "jujur banget sih jadi anak, ya udah kita beli sarapan dulu".
Matahari rupanya sedang bersahaja, tak terlalu panas membuat bersemangat untuk mencari tempat makan di pinggiran kota. Udara yang sejuk membuat ku kembali segar. Terlihat ada gerobak yang berjualan tak jauh dari apartemen. Ternyata jualan lontong sayur, wangi rempah-rempahnya sudah tercium dari kejauhan. Pastinya enak sekali lontong sayurnya" ki, makan di situ yuk" ajakku menunjukkan ke arah gerobak . "Yakin nih, cuma makan lontong saja?". "Ya gak papa kan cuma buat sarapan, nanti sidangkan makan lagi hehehe" gurau ku padanya. ,"Ok lah". Ku sudah seperti kesetanan, makan lontong sayur sampe nambah dua kali. Entah itu ku yang lapar atau makanannya yang enak. Rizki dan Abangnya melongo melihat atraksi makan besar ku.
Suara sendawa mengakhiri sarapan lontong sayur. Mungkin iki sedikit ilfil melihat tingkah laku ku yang seperti ini. "Sorry, ku bikin malu kamu ya ?". Tanyaku "gak kok, heran aja, pertama kali ku melihat cewek makan banyak". Aku pikir ini hal yang wajar saja, soalnya porsi lontong sayurnya sedang. Menahan lapar dari semalam efeknya gini. Sedikit membicarakan mengenai kompetisi untuk memperoleh beasiswa yang akan di adakan dalam waktu dekat ini. "Nih ya, kamu hanya punya waktu dua Minggu untuk belajar dan siswa yang akan mendapatkan beasiswa hanya 10 orang, kemungkinan besar peluang untuk masuk ke 10 besar ini hanya sedikit. Ku harap kamu belajar dengan sungguh-sungguh supaya masuk dalam daftarnya" penjelasan Iki mengenai kompetisi. " Siap ka Iki". Ledekku mengingat kejadian tempo hari. "Apaan sih". Balasnya
Satu jam kemudian kami kembali ke apartemen untuk belajar. Layaknya guru tutor Iki terus mamanduku dalam belajar. Kebetulan saat itu malas sekali untuk belajar. "Ki pusing deh, besok lagi aja deh belajarnya". Saranku "Gak bisa gitu,, waktu dua Minggu itu gak lama lho. Kamu harus belajar yang serius biar bisa masuk ke sekolah ini". Padahal ku sudah tak mau belajar lagi, rumus matematika yang ku pelajari sewaktu sekolah sudah lupa. Jangankan itu, pengetahuan ku hanya sedikit yang tersisa di memori. Berawal dari keterpaksaan untuk belajar kini sudah mulai menjadi kebiasaan. Hampir setiap waktu ku habiskan untuk membaca bahkan berlatih mengerjakan soal. Mata pelajaran yang akan di ujikan dalam kompetisi matematika, IPA, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tak hanya itu saja ada tes psikotes selanjutnya ke tahap Wawancara dengan kepala sekolah.
Tak terasa seminggu ku lewati menjadi seorang yang kutu buku. Materi hampir di kuasai semua, kelemahan ku di mata pelajaran bahasa Inggris dari dulu tak suka. Pada tanggal 5 Maret 2019 pendaftaran untuk kompetisi mendapatkan beasiswa telah dibuka secara online maupun offline. Berhubung teknologi semakin canggih aku memutuskan untuk mendaftar lewat online. Terlalu banyak orang yang sedang mengaksesnya benar-benar lemot sekali. "Arghhhh....gak bisa masuk juga". Di meja belajar ku menangis karena kesal yang tak kunjung bisa masuk ke situsnya. Tisu yang ada di meja habis ku pakai menghilangkan air mata dan ingus. Entah ada angin apa? Aku teringat dengan Iki. Langsung aku embat handphone yang di meja untuk menghubungi Iki. Suasana semakin jengkel telfonku tak di angkat sama sekali. "Ok aku coba kirim pesan singkat".
Kurang lebih dua jam pesan yang ku kirim di balas olehnya. "Besok kita datang langsung saja ke sekolah, gak usah secara online" pesan singkatnya. Aku yang sudah tak berdaya menurut saran darinya. Tetep saja hal ini membuat tak tenang, kemudian ku mengirimkan pesan lagi "Ki, ku nyerah deh gak mau ikut kompetisi beasiswa di sekolahmu, sepertinya banyak sekali orang yang mau mengikuti". Pesan terakhir ini mengakhiri percakapan malam ini.
Gelisah sekali, ku tak bisa tertidur nyenyak seperti biasanya. Mataku tak dapat ku pejamkan dengan rapat. Tak hentinya aku mencari cara agar bisa tertidur, mulai menghitung jumlah kambing yang ada di pikiran, di lanjut membaca Webtoon di line. Akhirnya mata ini mulai lelah langsung memejamkan mata.