Aku suka bermain catur. Tapi aku selalu kalah dalam permainan
itu. Pulang mengaji dari mushola selesai solat isya, selalu pergi ke rumah
temanku. Ya tujuannya untuk bermain catur. Kami selalu bertaruh yang kalah
harus mendapat hukuman. Tiap malam hukumannya selalu berbeda. Tapi yang kalah
tetap sama yaitu aku. Aku merasa bosan. Kenapa aku kalah mulu. Padahal aku
selalu berlatih.
Tiap hari minggu aku selalu berlatih dengan ayah. Karena
saat itu beliau libur kerja. Dan kadang-kadang aku pergi ke rumah kakek di
kampung sebelah. Ya walupun harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang
cukup jauh. Bahkan harus melewati hutan. Tapi tidak apa-apa ini demi harga
diri.
Pada waktu itu di rumah Ali temanku, permainan catur
dimulai. Kami berjumlah 5 orang. Yaitu aku, Ali, Iman, Marwan dan Dio. Karena
papan caturnya cuma ada satu. Jadi kita main bergiliran. Kita baru bisa main
setelah ada lawan yang kalah. Sementara yang menang akan terus main melawan
penantang selanjutnya. Untuk hukuman bagi yang kalah hari ini adalah meminum
air satu gelas setiap kali kalah. Mereka semua merasakan kemenangan kecuali
aku. Selama tiga jam permainan tak terhitung berapa gelas air yang sudah aku
minum. Aku selalu kalah dan dengan waktu yang cepat pula. Lebih cepat dari
temanku yang menderita kekalahan.
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Akupun pulang
seperti sapi gelonggongan. Karena terlalu banyak meminum air. Tapi aku berbesar
hati menerima semua kekalahanku itu. Aku selalu berpikir esok pasti akan lebih
baik.
Dan tibalah di hari esok. Ali mengumumkan bahwa kali ini
hukumannya adalah setiap yang kalah harus rela wajah tampannya dicoret pakai
sepidol oleh si pemenang. Kami semua menyanggupinya. Permainan pun dimulai dan
lagi-lagi aku kalah. Kali ini aku diliputi perasaan marah. Karena aku sudah
bosan kalah melulu. Ketika waktu menunjukan pukul 10 malam dan sudah waktunya
pulang, aku mengajukan protes dan minta waktunya ditambah sampai pukul 12
malam. Mereka semua menyanggupinya karena besok hari minggu.
Dua jam yang menegangkan itu pun dimulai. Aku sekuat tenaga
berusaha untuk memenangkan pertarungan ini. “Aku harus memanfaatkan betul
kesempatan ini” pikirku, dan jeng.. jeng… aku kalah lagi.
Saat itu tepat pukul 12 malam aku pulang dengan perasaan
marah, mataku melotot sepanjang perjalanan. Baju hitam, celana hitam, sarung
hitam dan kini wajahku pun hitam. Aku berjalan dalam kegelapan dan hanya bola
mataku saja yang kelihatan. Sebelum pulang aku sempat bercermin dulu di rumah
Ali. Aku kaget karena aku tak mengenali wajahku sendiri di cermin itu. Tapi aku
tak boleh mencuci muka dulu sebelum sampai di rumah itu peraturannya.
“Asalamualaikum bu,” akupun memanggil
“Wa’ alaikum salam” saat itu yang membuka pintu adikku
Saat pintu dibuka adikku menjerit histeris sambil berkata
“setan” dia mengangapku setan dengan mata melotot dan wajah yang menyeramkan.
Suaranya sangat keras. Sampai tetangga yang sudah tidur pun semuanya keluar
rumah.
Besoknya setelah solat subuh aku tidur lagi tapi tidak lama
kemudian segayung air mendarat di wajahku. Kata ibu aku harus sekolah. Aku
merasa bingung hari ini kan hari minggu. Kan sekolah libur. Tapi aku menurut
saja. Aku pun pergi ke sekolah.
Sesampainya di sekolah suasana sudah ramai. Dan ternyata
kepala sekolah mengadakan perlombaan catur. Dia melakukan seleksi siapa tiga
orang yang berhak untuk mewakili sekolah dalam perlomba catur tingkat kecamatan
minggu depan. “Semoga saja aku salah satunya” harapku. Aku pun mendaftarkan
diri. Dan aku berhasil aku menjadi salah satu dari tiga wakil itu. Dan di
sekolah ini aku menjadi juara satu dimana hal itu tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Sementara di tempat kedua ada Ali dan Dio di tempat ketiga.
Hari itu pun tiba, di kecamatan kita bertarung dengan
anak-anak dari sekolah lain. Dimana hanya ada dua orang saja yang berhak melaju
di tingkat kabupaten. Sekolah kami sungguh bangga. 3 wakilnya berhasil menjadi
juara di perlombaan catur tingkat kecamatan ini. Dan aku kembali menjadi juara
satu. Ali di tempat kedua dan Dio di tempat ke tiga. Namun yang berhak melaju
ke tingkat kabupaten hanya dua orang saja. Kami pun melakukan salam perpisahan
dengan Dio. “Maafin aku ya, aku sempat ngeremehin kamu” ucap Dio lalu dia
memelukku. “gak apa-apa, kamu doain aja semoga di kabupaten kita berhasil dan
kembali mengharumkan nama sekolah” ucapku sembari melepaskan pelukkan Dio,
karena pelukkannya erat banget sampai aku susah bernapas.
Kami bertarung kembali di kabupaten dan aku kini harus
berpisah dengan Ali. Dia gugur. Aku kembali melaju di tingkat provinsi dan
lagi-lagi jadi juara satu. Aku kembali jadi juara satu di tingkat Nasional dan
juga tingkat Asia, aku pun berhak mewakili Indonesia di kejuaraan dunia.
Prestasiku itu ditayangkan dalam sebuah acara di televisi. Betapa bangganya
hati orangtuaku saat dia menyaksikan acara di tv itu, begitu juga sekolahku dan
negara Indonesia. Semuanya bangga padaku. Aku di wawancarai apa rahasianya aku
bisa sampai mewakili Indonesia di kancah Dunia. Aku hanya menjawab “rahasianya
usaha dan doa” jawabku singkat.
Perlombaan catur tingkat dunia pun dimulai dan tinggal
selangkah lagi bagiku untuk menyabet gelar grandmaster. Aku sampai di final dan
di final ini aku melawan orang Rusia. Dan Aku berhasil menang. Aku jadi juara
Dunia. Hari ini aku membuktikan diri bahwa seseorang yang berasal dari kampung
pun mampu berbicara banyak di mata dunia. Akulah Alvin Sanjaya Grandmaster dari
kampung.
Aku sangat bahagia, aku tak bisa menahan rasa ini, aku
tertawa terbahak-bahak dengan mulut yang terbuka lebar. Saat itu orang Rusia
yang aku kalahkan berjalan menghampiriku dengan membawa bakwan goreng yang
sepertinya masih panas. Tak kusangka dia memaksukan bakwan goreng yang masih
panas itu ke dalam mulutku yang sedang terbuka lebar itu. Aku pun sontak kaget.
Saat aku sedang kepanasan muncul suara dari langit “sudah makan saja!” tapi
suaranya seperti Dio temanku, dalam pikiranku “Dio kan di kampung dia kan gak
ikut ke Rusia?”. Lalu orang Rusia itu kembali memasukkan bakwan yang masih
panas itu ke dalam mulutku dan suara Dio itu muncul lagi dan benar saja itu
suara Dio dari alam nyata.
Ternyata aku hanya mimpi. Aku membuka mata dan aku merasakan
ada yang aneh dengan mulutku. Ya bakwan itu masih ada di mulutku. Ternyata Dio
yang memasukan bakwan panas itu. Karena katanya aku susah dibangunin. “Ayo
kemon! makan mulu” ucapku sambil membawa bola yang aku ambil dari bawah kolong
tempat tidurku.